Kenalkan namaku Faiz. Aku sudah lama tinggal di Malang. Aku hanya sendirian di sini karena orang tuaku bekerja di luar kota dan hanya tinggal di sebuah kontrakan di daerah dekat kampus terkenal. Terlahir tanpa kakak dan adik, hidupku sangat sepi. Entah sampai kapan aku menyendiri. Hanya bersama teman-temanku sekelas SMA.
Di sinilah, aku dapat mengenal dunia yang luas, hang out bareng teman, dan membicarakan hal yang menyenangkan. Aku tidak pernah merasakan sebelumnya. Meskipun punya teman, aku masih belum bisa mengobati rasa kesepianku.
Hari Minggu, 12 Januari 2014, ketika hang out bareng teman sehabis Car Free Day, kami lapar. Kami memilih salah satu warung makan di Stasiun Malang Kota Baru. Di tengah-tengah kesenanganku bersama teman-temanku, terjadi insiden yang sangat heboh.
"Tolong, jangan ambil tasku!" teriaknya dengan aksen Jepang
Terjadi penjambretan oleh seorang pria berbaju hitam berkepala plontos yang entah ke mana larinya.
"Wonge mlayu ndek endi?" (Orangnya lari ke mana?) tanyaku kepada seorang tukang becak.
"Iku lho wonge mlayu ndek ngidul mrono" (Itu orangnya lari ke arah selatan sana)
Aku pacu motorku dan menemukan orang yang dimaksud.
"Terima kasih ya. Kalo kamu gak tolong aku, aku gak bisa makan." Ucapnya dengan aksen Jepang yang terdengar.
"Iya, emang kamu siapa dari mana?"
"Aku Haruka Nakagawa dari Jepang, tapi udah lama di Jakarta. Panggil aja aku Haruka."
"Lha terus kok ke sini?"
"Aku pengen liburan di sini, tapi aku ga tau di sini tempat liburan di mana"
"Hmm, kalo masalah tempat liburan, aku ahlinya. Oh ya aku lupa. Namaku Faiz. Senang bertemu dengan cewek impor"
"Hii ada-ada aja" Logat Jepang-nya keluar dan suaranya yang seperti anak kecil.
"Waduh modus tuh" teman-temanku meneriakkanku.
"Abis ada beras impor nyasar di Malang" Saat itu, Haruka terlihat gendut.
"Dasar nakal masa aku kayak karung beras?" Eh dia ngambek.
Semua orang di stasiun itu yang awalnya tegang menjadi suasana lawak.
====================================================================================
"Aku gak tau mau nginap di mana, Iz."
"Di Songgoriti aja."
"Mana itu?"
"Batu. Dingin seperti di Jepang lho. Dari sini 20 kilo"
"Jauh banget."
"Gak mau? di kontrakanku aja masih ada kamar kosong."
"Hmm, emang ada rumah makan?"
"Nyampe aja belum masa tanya rumah makan. Dasar gendut"
Haruka ngambek dan mencubit pinggangku. Sakit sekali, lebih sakit daripada sengatan lebah yang pernah aku rasakan sewaktu kecil.
Kami sampai di kontrakanku. Entah disebut kontrakan, terlalu rendahan! Bangunannya seperti apartemen yang di tengahnya ada taman yang hijau. Jika aku ke luar kontrakan, di kiri ada masjid besar dan di kanan ada agen perjalanan yang pernah mengantarku ke bandara. Kamarnya kecil, tetapi lengkap. Ada toilet, dapur kecil, tempat tidur yang bisa dijadikan ruang tamu. Kamarku terkesan sederhana karena hanya berisi TV, kulkas, kompor biasa, dan kipas angin. Aku belum mampu membeli AC, apalagi di Malang cuacanya masih relatif dingin, sehingga tidak perlu beli AC. Ini semua berkat keseriusanku bekerja sebagai apoteker di klinik kakak sepupu, desainer grafis, dan penjual atribut sepak bola. Andai saja dari SMA aku sudah kerja, aku pasti mampu membeli AC.
Tetangga di sana ramah, termasuk Cak No dan kedua putrinya, Ayu dan Ayana. Setiap hari istri Cak No selalu mengantarku makanan jika aku tidak memasak. Ketika aku bertemu Cak No, selalu di belakangnya ada kedua putrinya. Di antara mereka, Ayulah yang paling cerewet dan sering menggodaiku. Sedangkan Ayana sering ketiduran. Lihat saja waktu aku diajak Ayu ke Car Free Day, saat aku membeli minum yang antreannya lama, dia malah keenakan tidur di bawah pohon yang besar. Kedatangan Haruka ke kontrakanku disambut mereka berdua.
"Ciye, Kak Faiz bawa pacar ke sini." Teriak Ayu
"Apa? Pacar? Pacar matamu apa? Ini aku anterin ke sini mau ngontrak kok." Jawabku dengan nada agak tinggi.
"Onok opo seh ndek kene malah gelut? Kon gowo sopo iku? (Ada apa sih kok berantem gitu? Kamu bawa siapa?)" Cak No dan istrinya tiba-tiba datang dan menanyakanku.
"Iki onok tetangga anyar awak dewe, Cak.(Ini ada tetangga baru kita.)" Jelasku.
"Sopo jenengmu, Nduk? (Siapa namamu?)" Sapa istri Cak No ke Haruka.
"Iz, dia ngomong apaan sih?" Tanya Haruka dengan kebingungan mendengar bahasa yang asing baginya.
"Dia tanyain namamu. Mau ngajak kenalan. Di sini, orang-orang sering pake Bahasa Jawa Malangan." Jelasku.
Mau tak mau aku menjadi penerjemah untuk Haruka. Setelah berkenalan, ku ajak dia ke kontrakan di sebelahku yang kosong.
"Aku lapar. Di sini ada rumah makan gak?" Keluhnya.
"Ampun, Har. Aku udah capek-capek ngejar balikin tasmu, nganterin kamu, bawa tasmu, kamu belum 1 jam di sini kamu minta makan. Dasar gendut!" Kesalku.
"Hiii, kamu gak kasian kamu." Dia langsung menundukkan kepalanya dan terdengar menangis begitu mendengarku kesal.
"Aduh gitu aja nangis sih." Aku mulai kebingungan apa yang harus kulakukan.
"Weeeek, aku gak nangis, cuma godain kamu kok, hehehe" Ejek Haruka.
"Di sini banyak rumah makan. Tinggal keluar sini aja udah banyak surga bagimu."
Aku langsung ku ajak dia makan di sebuah rumah makan. Di depan langsung ada bakso bakar. Kuajak Haruka ke sana.
Di dalam warung itu, aku sengaja memesankan bakso biasa dan bakso bakar. Maklum, di Malang terkenal dengan bakso bakarnya. Dia tampak heran dengan bakso bakar.
"Di Malang bakso bakar jadi ikon kuliner. Gak cuma itu aja, pangsit & baksonya terkenal. Makanya, di seluruh pelosok Indonesia pasti ada orang yang jual Bakso Malang. Cobain deh, enak kok meski dibakar." Jelasku tentang kuliner.
"Aku pesan itu deh, enak gak yaa?"
Kira-kira 15 menit, pesanan kami telah hadir di depan kami. Belum mencicipi bakso bakar sedikit pun, Haruka dengan rakusnya merebutnya.
"Katanya udah sering makan. Jadi aku yang makan dong."
Akhirnya aku mengalah tidak memakannya. Aku melamun melihatnya makan. "Kok bisa ya, cewek secantik Haruka makannya rakus. Pantesan gendut."
"Iz, gak makan? Kok ngelamunin aku terus? Entar baksonya abis aku makan nih."
"Eh, kamu kan udah dapet bakso bakar. Kalo ini bagianku."
Tak sadar, bakso kami langsung ludes. Tak lupa aku membayarnya. Hari ini sangat menyenangkan. Tapi, ada satu rasa yang muncul dengan cepat. Mengapa aku langsung jatuh cinta dengannya, padahal aku masih belum sembuh dari rasa sakit hati setelah bolak-balik ditinggal kekasih. Hmm, aku tahan dulu perasaanku. Aku ingin membuatnya betah.
====================================================================================
Cerita kemarin yang kualami didengar juga oleh teman-temanku. Mulai dari bangga, senang, penasaran, iri, bahkan nafsu yang ada di benak teman-temanku.
"Lek aku ketemu wong iku maneh, tak ajak turu ae. (Kalau bertemu dengan orang itu lagi, aku ajak tidur sama aku.)" Ceplos Roni. Dia mesti membicarakan hal-hal mesum.
"Turu ambek kodew tok kon iku. Ndang tobato, Ron! (Tidur sama cewek terus kamu ini. Cepat tobat, Ron!)"
Suasana di sana memang mengasyikan.
"Kapan-kapan ajak uklam-uklam a, Iz. Cek kenal ambek awak dewe. Eroh embonge Malang barang. (Kapan-kapan dia diajak jalan-jalan dong, Iz. Biar kenal sama kita. Tau jalannya Malang juga.)" Cerocos Ifan.
Tawa pun pecah dan menggelegar di warung kopi. Tiba-tiba, ada yang menepuk punggungku dari belakang. Dan aku menoleh ke belakang, ternyata...
"Iz, gitu ya gak ngajak aku." Haruka mengagetkanku sambil ngambek.
"Ciye, ojob anyar! (Ciye, pacar baru!)" Serentak teman-temanku. Apalagi Izul yang terdengar paling keras suaranya.
Aku tidak mempedulikan apa omongannya. Aku langsung saja mengenalkannya kepada mereka. Aku juga melarang mencoleknya lama-lama. Bukan karena cemburu, tetapi takut kalau mereka mulai berpikir mesum tentangnya.
Lalu, kuajak ke toko atribut sepak bola. Dia masih bingung mau beli apa. Akhirnya, Haruka hanya diam saja dan bingung.
"Har, ini tempat kerjaku. Gara-gara ini, aku bisa ngontrak lama di sini. Oh iya, kebetulan di sini butuh SPG. usia minimal 20 tahun. Kalo kamu minat langsung lamar ke aku. Langsung aku terima."
"Em, iya deh aku mau. Lagian di sini aku gak ngapa-ngapain kalo gak kerja. Aku pengen punya uang sendiri."
Lamaran kerjanya langsung kuterima tanpa syarat. Haruka langsung melayani pelanggan yang ingin membelinya. Sedangkan aku yang di kasir dan pemegang utama uang. Aku heran melihatnya semangat melayani pembeli meski berjam-jam berdiri tanpa terlihat lelah. Memang aku tahu orang Jepang sangat semangat jika bekerja.
Dalam lamunanku, ada seseorang yang mengagetkanku. Sepertinya aku kenal dia.
"Asik, kon duwe SPG anyar, lha kok raine asing ngono? Sopo seh? (Asyik, kau punya SPG baru, tapi wajahnya kok asing gitu? Siapa?)" Bobby dengan gayanya celana pensil dan jaket jeansnya seperti waktu aku masih SMP.
"Iku, wong golek kerjaan. Lha dhek'e ngelamar, yo tak trimo a. (Itu orang nyari pekerjaan. Lha dia ngelamar di sini, ya langsung aku terima)" Tegasku dengan santai.
"Lek ngene yo tambah rame seng tuku, Iz! (Kalo gini ya tambah rame yang mau beli, Iz!)"
Ternyata benar saja. Tokoku semakin ramai pembeli. Untuk hari ini, aku untung besar. Tak lupa penghasilanku dibagi dengan Haruka, bahkan kulebihi upahnya karena dia sangat bekerja keras.
Hari semakin senja, daganganku ludes hari ini. Aku mengajaknya pulang dan membantuku menutup toko baju bola. Setelah sampai di depan kontrakan, aku pamit Haruka kalau ada urusan ambil kiriman orang tua. Namun, bisa dianggap setengah jujur, karena aku langsung berangkat membelikan kado ulang tahunnya besok, yaitu kalung berbentuk hati berinisial H. Aku menemukan toko perhiasan di sebuah mall.
"Selamat sore, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" Sapa SPG dengan ramahnya.
"Saya mau beli kalung bentuknya hati, trus di tengah ada huruf H, ada, Mbak?"
"Oh, ada."
"Kalo ada saya beli aja. Jangan lupa pake kotak warna merah."
Akhirnya, kalung itu kubawa pulang langsung kusimpan agar dia tidak tahu apa yang aku bawa.
"Jangan sampe lupa. Besok ultah orang paling spesial buatku." Gumamku sebelum tidur.
====================================================================================
Sudah 1 tahun kami saling kenal, bahkan dekat sekali. Hari ini tepat tanggal 10 Februari, ulang tahun Haruka. Aku sudah persiapkan semua kejutan di depan kamarnya lengkap dengan hadiah kalung berbentuk hati berhuruf H, persis nama orang spesial untukku.
"Har, coba kamu keluar kamar, trus buka pintunya." SMS-ku.
"Ada apa, Iz? Aku masih ngantuk." Balasnya
"Udah deh buka aja. Kamu pasti gak merasa ngantuk lagi kok."
"Yaudah deh, tapi nunggu bentar ya, aku mandi dulu."
Aku langsung datang di depan pintu kamarnya. Rupanya di sana sudah ada Ayu yang membawa kue tart dan Ayana bawa boneka beruang. Sedangkan aku? Hanya kado kecil berwarna merah. Pasti aku diledek mereka berdua. Kami bertiga menunggu lama sambil membawa 'sesaji' ulang tahunnya.
"Aduh, Kak Faiz payah! Masa cuma ngado kotak kecil?" Ejek Ayana.
"Biarin, liat aja nanti kalo dia buka pasti kaget dan suka sama kadoku."
"Aduh, sombong banget." Sambung Ayu.
Pintu mulai terbuka. Di balik pintu, Haruka tampil beda dari biasanya. Kaos putih ketat dipadukan celana jeans biru pendek ia kenakan hari ini. Mungkin ini hari spesial baginya.
"Selamat ultah ya, Kakak!" Ucap Ayu dan Ayana.
"Otanjoubi omedetou, Haruka-san!" Ucapku mantap dengan logat Jepang tercampur Jawa.
"Buset dah! Kakak bisa ngomong Bahasa Jepang!" Ayana kaget.
"Kamu kok tau bahasa tempat kelahiranku?" Haruka heran.
"Kamu kira aku gak diajarin Bahasa Jepang?"
"Ayo tiup lilinnya, Kak Har!" Pinta Ayu.
Haruka langsung meniup lilinnya dan memotong kuenya. Potongan kuenya sudah di piring kecil, tetapi siapa yang akan dia beri? Mudah ditebak, aku yang dikasih.
"Ciye, dikasih dari Haruka, jangan-jangan udah...." Sebelum dia keceplosan, sudah kututup mulutnya. Dia tidak bisa bicara yang tidak-tidak. Langsung saja kuberi hadiahnya. Setelah dia buka kadonya, matanya berbinar. Kalung berbentuk hati dan berinisial H, persis namanya. Refleks, Haruka memelukku.Jantungku berdegup kencang, tanganku dingin, gugup, bahkan 'benda pusaka'ku memberontak. Saat itu juga aku pasangkan kalung itu. Tiba-tiba di pundakku mengalir air yang hangat. Haruka menangis.
"Kok nangis sih?" Aku tidak mengerti apa maksudnya.
"Makasih ya. Kamu cowok baik yang pernah aku punya."
"Iya, tapi gomen -maaf- ya kalo cuma kalung."
"Gapapa kok, Iz."
"Jangan nangis, Har."
Aku menyeka air matanya dan kuhibur. Orang-orang satu kontrakan mendatangi kami. Entah mengucapkan selamat ulang tahun, modus mendekatinya, atau sekedar mencicipi kue tart, aku tak peduli. Yang penting, aku sudah membahagiakannya.
"Jangan kebanyakan makan lho. Diet yang bener, biar langsing ya."
"Iya-iya, Iz. Aku berusaha diet."
====================================================================================
Minggu pagi, aku akan pergi mengunjungi tokoku yang semakin laris. Tetapi, dia meneleponku.
"Iz, gomen ya aku nyusul kamu kerja belakangan."
"Kenapa?"
"Aku males berangkat pagi banget."
"Yaudah gapapa, uangnya tetep tak kasih ke kamu kok."
Sebelum aku membuka pintu, aku mengintip ke luar. Entah mengapa, Haruka tampak menangis di depan Ayu, sesekali mereka berpelukan. Aku tidak mengerti.
"Dia kenapa sih? Pasti dia ada masalah. Tapi ga mungkin masalahku. Aku gak pernah ngajak berantem sama dia."
Setelah beberapa menit mereka berlalu, aku berani keluar rumah.
Di toko, beberapa pengunjung yang rupanya mengenal Haruka menanyakan dia di mana.
"Mas, mbak-mbak putih cantik yang biasanya ikut kerja mana kok gak datang?" Tanya salah seorang pelanggan.
"Mungkin dia lagi gak pengen keluar."
Sampai sore, dia belum datang. Aku memutuskan pulang lebih awal. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Begitu sampai di rumah, aku menemui Ayu. Dia menyodori surat yang memang untukku.
"Isinya apa?"
"Udah deh, Kak. Baca aja. Jangan kaget ya."
Kubuka suratnya dengan penuh rasa penasaran.
Untuk Faiz-san.
Gomen ya kalo aku gak bilang langsung sama kamu. Aku hari ini langsung berangkat ke jepang .Aku tadi pagi nangis karena adikku di Jepang masuk rumah sakit. Dia sakit keras, mamaku yang telepon aku harus berangkat sekarang mau jenguk dia. Aku gak tau sampai kapan aku di sana. Aku lupa terima kasih ya kalungnya. Aku gak lupain kamu kok. Kamu jangan nakal di Malang ya. Aku bakal kembali kok meski entah kapan pulangnya. Oh ya, kalo kamu kangen aku, liat aja fotoku di dalam suratku. Cantik kan? Semoga kamu seneng liatin yaa.
Salam kanget buat kamu,
Haruka
Tanpa kusadari air mataku meleleh dan jatuh ke tanah. Aku hanya bisa bertekuk lutut di tanah karena aku tak kuat. Sementara Ayu di sebelahku hanya menepuk pundakku dan menghiburku. Tetapi aku tidak menghiraukan dan larut dalam kesedihanku. Mengapa kamu tidak pamit kepadaku kalau mau pergi? Aku tidak bisa menerima kejadian ini.
"Kak, maafin Ayu ya kalo gak terus terang dia ke mana."
Tetapi, aku masih diam dan meratapi nasibku sendiri.
"Besok aku mau ngasih kejutan, Kak. Besok langsung ke kamarmu aja. Jangan sedih dong."
Aku berjalan gontai seperti setelah minum vodka setengah botol. Pusing menerjangku, sedih menghantuiku, seakan-akan aku tidak semangat hidup. Di kamarku aku langsung tidur lebih awal. Biasanya jam 10, kini aku tidur jam 9 kurang 10 menit agar aku tidak merasakan sedih yang membunuh semangatku.
====================================================================================Haruka
Tanpa kusadari air mataku meleleh dan jatuh ke tanah. Aku hanya bisa bertekuk lutut di tanah karena aku tak kuat. Sementara Ayu di sebelahku hanya menepuk pundakku dan menghiburku. Tetapi aku tidak menghiraukan dan larut dalam kesedihanku. Mengapa kamu tidak pamit kepadaku kalau mau pergi? Aku tidak bisa menerima kejadian ini.
"Kak, maafin Ayu ya kalo gak terus terang dia ke mana."
Tetapi, aku masih diam dan meratapi nasibku sendiri.
"Besok aku mau ngasih kejutan, Kak. Besok langsung ke kamarmu aja. Jangan sedih dong."
Aku berjalan gontai seperti setelah minum vodka setengah botol. Pusing menerjangku, sedih menghantuiku, seakan-akan aku tidak semangat hidup. Di kamarku aku langsung tidur lebih awal. Biasanya jam 10, kini aku tidur jam 9 kurang 10 menit agar aku tidak merasakan sedih yang membunuh semangatku.
Pagi hari, aku seperti biasa akan pergi ke toko tempat kerjaku. Cak No memberi sarapan sambil mengingatkanku.
"Nak, ojok lali anterno Ayana ndek halokes'e yo. Ayas ladub ndek kantor isuk iki. Kon eroh seh? (Nak, jangan lupa antarkan Ayana ke sekolahnya. Aku pergi ke kantor pagi ini. Kamu tau kan?)"
Aku hanya mengangguk saja sambil lesu.
"Wes talah, ojok sedih ae. Mosok ditinggal Haruka dilut ae sedih? (Udah deh, jangan sedih lagi. Masa ditinggal Haruka sebentar aja sedih?)"
"Wong'e kadit pamit nang aku. (Dia gak pamit ke aku.)"
Cak No langsung bergegas berangkat. Aku hanya makan saja. Lalu, aku pergi mengajak Ayana yang sudah memakai seragam sekolah. Meski dandan rapi, raut wajahnya masih tampak mengantuk.
"Udah deh, kalo ngantuk, cuci muka atau minum kopi. Masih pagi kok ngantuk?"
"Justru masih pagi aku ngantuk. Biarin aja yang ngantuk kan aku."
Kupacu motorku agar dia tidak ngantuk. Sesampainya di depan sekolahnya, dia malah tertidur! Aduh, Ayana ini tidur di motor.
Setelah sampai di tokoku, aku kembali ke rutinitasku sendiri. Tempat menghasilkan uang terbanyak selain distro dan desainer grafis. Aku merasakan ada yang hilang, Haruka entah mengapa dia tidak bicara denganku saat dia akan berangkat.
"Mas, mana mbak-mbak SPG itu?" Tanya salah seorang pelanggan.
"Dia mudik ke Jepang."
"Yaudah. Ini bajunya aku beli ini."
Aku kembali dalam kegelisahannya. Meski tanpa Haruka, tokoku tetap laris manis dengan berharap dia cepat kembali karena semua pelangganku merindukannya. Pelayanan bagus, wajah menarik, dan selalu tersenyum kepada pelanggan membuat mereka berharap dia kembali.
Aku tutup toko lebih awal karena hari ini jadwal pertandingan sepak bola. Seakan-akan ini adalah panggilan jiwa untuk menontonnya. Aku bukan hanya penonton, tetapi suporter yang seakan-akan menjadi pelatih. Aku pulang hampir jam 11. Di perjalanan pulang, aku bertemu Cak No yang baru saja pulang.
"Menang, Cak!"
"Alhamdulillah, Iz!"
Kami pun konvoi sampai ke kontrakanku. Rasa ngantuk dan lelah mengalahkan rasa sedihku. Aku tidak melihat langsung foto Haruka yang kupajang di samping ranjangku. Hmm, aku lelah sekali. Yang penting, inilah hiburanku yang paling menyenangkan.
Keesokan harinya, aku akan mencari sarapan, ada yang mengetuk pintu kamarku. Kencang sekali. Siapa yang menggedor pintunya? Polisi? Satpol PP yang merazia pendatang? Aku bergetar menuju ke pintu. Kakiku bergetar, lemas, tak kuat berjalan. Tanganku dingin, tetap kupaksa membuka pintu. Dan, ternyata....
"Kakak!!" Ayu dan Ayana berteriak.
"Dasar, bocah! Kirain polisi!"
"Hahahaha, jangan galau dong, Kak!" Ayana mencubitku.
"Galau air minum kali!!"
"Aduh, itu galon. Kakak ini lucu ya. Galon itu yang ditiup, Kak." Celutuk Ayu.
"Balon, Jaenab!!" Aku terpaksa memanggil Ayu dengan Jaenab, plesetan nama lengkapnya, Nabilah Ratna Ayu.
"Hii, Kak Faiz jahat!"
"Udah deh, Yu." Aku dan Ayana serentak.
"Emang mau ngapain sih kok ke sini?" Heranku.
"Udah deh, Kak. Bolehin kita masuk ya."
Dengan terpaksa, aku persilakan masuk ke kamarku. Aku buatkan cappuchino buat Ayana agar tidak sering mengantuk dan jus mangga untuk Ayu. Mereka sangat senang begitu kubuatkan minuman.
"Emang ada apa sih sampe maksa ke sini?"
"Kak, aku mau ngomongin curhatan Kak Haruka. Dia bilang suruh sampein ke kamu." Ayu memulai pembicaraan serius.
"Emang dia kenapa sih sampe harus ngomong ke kamu?"
"Dia gak berani ngomong jujur sama kamu, Kak."
"Udah deh, ceritain aja, Yu."
Dadaku mulai terasa berdebar-debar. Mulai penasaran dengan apa yang Ayu ceritakan.
"Tapi kamu gak punya penyakit jantung, kan?" Ayana memotong pembicaraan.
"Gak kok, tenang aja." Aku memastikan kalau aku tidak memiliki penyakit jantung jika ada hal yang mengagetkanku.
"Dia sebenarnya punya rasa, em..."
"Rasa coklat?" Potongku.
"Hahahaha, Kakak ini ngelawak. Haruka bukan coklat!"
"Dia cerita apa sih?"
"Dia suka sama kamu, katanya romantis banget, apalagi waktu Kakak ngasih kalung gitu. Dia selama punya pacar belum pernah dikasih hadiah waktu ulang tahunnya."
"Hah? Masa?" Heranku.
"Bener, Kak. Dia gak pengen nembak kamu. Kakak aja yang nembak gitu katanya."
"Tapi kamu jangan ikut aku waktu nembak ya."
"Aduh, gak seru tau!" Teriak Ayu.
"Aku sih emang suka dia, tapi aku sengaja kulama-lamain biar dia kenal deket sama aku. Aku gak pengen salah nyari pacar lagi. Ngakunya setia, sehidup semati, terima apa adanya, tapi malah ngecewain."
"Aku yakin Kak Haruka orangnya sebaik yang kamu pikirin, kok. Yakin aja deh, Kak."
Saat seru-serunya bercerita, di saat aku dengan Ayu mengobrol, di mana Ayana? Kok tidak ada suaranya. Begitu ke atas ranjang, ternyata mudah ditebak saja. Ayana tertidur! Padahal tadi seru sekali sampai Ayu berteriak, dia tertidur.
"Woi, bangun!" Teriak Ayu.
"Gak bangun kalo gak pake caraku." Aku mengambil HP dan memasang headset ke telinga Ayana. Kusetel lagu cadas yang aku punya. Volume maksimal. Dan lihat saja apa yang terjadi. Ayana kaget dan berlari menabrakku. Kakinya mengenai rahang bawahku. Sakit sekali rasanya. Kami bertiga tertawa.
====================================================================================
Tuhan, inikah cara-Mu mempertemukanku dengan Haruka? Aku suka dia sejak awal bertemu, saat di stasiun, saat mencarikan kontrakan, bahkan pergi bersama. Mungkin ini cara terindah untukku.
"Andai ku malaikat kupotong sayapku, kan rasakan sedih di dunia besamamu. Perang kan berakhir, cinta kan abadi di tanah anarki romansa terjadi..."
Tiba-tiba, ada yang menutup mataku.
"Tebak aku siapa, hayo?"
"Kamu?"
"Aku? emang aku siapa?"
Kulepaskan tangannya dariku dan berbalik badan. Ternyata....
"Haruka!!!"
"Faiz!!!"
Aku langsung memeluknya dan aku tak dapat menahan air mata. Sudah hampir 7 bulan dia pergi.
"Gomen, Iz. Gak bilang-bilang kamu kalo mau ke Jepang."
"Gak masalah, kok. Kamu gak pengen jalan-jalan?"
"Kapan-kapan deh."
"Yaudah, kalo mau, aku tunggu ya."
Dia langsung memasuki kamar kontrakannya dan aku masuk ke kontrakanku. Tak habis pikir, dia datang dengan mengagetkanku. Entah apa yang ia pikirkan dia langsung menutup mataku. Untung saja kalau Haruka, kalau perampok, penjambret, atau penculik, beda lagi ceritanya.
Pintuku digedor lagi. Pasti saja 2 gadis genit Ayu dan Ayana lagi. Sudah tahu jika Ayu menggedor pintu sekuat tenaga. Benar juga dugaanku, Ayu datang lagi.
"Gimana, Kak? Seneng kan?"
"Tau aja kamu ini. Jangan nebak-nebak deh."
"Dia cerita lagi ke aku kalo kamu sampe nangis-nangis gitu kayak 10 tahun gak ketemu langsung ...."
Sebelum dia ngelantur tak jelas, kakinya langsung kuinjak. Tampaknya, dia langsung kesakitan dan tidak jadi meneruskan omongannya.
"Yu, awas kalo keceplosan lagi!"
"Kalo suka, ya tembak aja dong, Kak!"
"Mungkin udah jadian di Jepang."
"Aduh, Kak. Dia belum jadian sama siapa-siapa. Sumpah!"
"Tapi dia capek abis perjalanan jauh, kalo dia langsung tak tembak ya dia mungkin belum mau terima."
"Terserah Kakak aja deh."
Dia berlalu sambil menutup pintu dengan agak keras. Entah dia sebal atau dia kebiasaan membanting pintu. Huh, dasar bocah nakal!
HP-ku berdering di saat aku bangun tidur siang. Dengan kepala pusing tidak karuan, aku tetap mengangkat telepon. Rupanya aku tak asing dengan nomor telepon itu. Entah tukang kredit, debt collector, atau siapa saja. Begitu kuangkat, suaranya seperti orang Jepang.
"Aku jadi jalan sama kamu besok ya." Ternyata Haruka yang meneleponku.
"Bener?"
"Ya bener dong, Iz. Mau ke Batu, katanya dingin banget kayak Jepang."
"Mau dikutuk jadi batu?"
"Heheheheh, bukan itu, Kota Batu maksudku, Iz. Kamu ini ngelawak!"
"Oke."
"Nanti aku pake baju yang spesial deh. Kamu pasti senang."
"Baju apa?"
"Besok aja kamu bakal tahu."
"Yaudah, pokoknya pake baju."
"Gak dikasih tau aja aku udah tau. Udah dulu aku mau mandi. Terus aku mau makan."
"Dasar makan terus pikiranmu, entar tambah melar lho."
Dia langsung menutup teleponnya. Aku ke luar kamar, sekedar mencari udara segar dan mengatur rencana untuk besok. Di dalam benakku, hanya ada 1 orang yang membuat hari-hariku kembali semangat, menyusun masa depan yang mungkin akan indah. Siapa lagi kalau bukan Haruka. Mungkin, dia memikirkanku dan aku pasti memikirkannya. Suatu saat nanti, kita bersatu, Haruka. Tak sadar, aku berteriak menyebut namanya. Karena aku sering keceplosan saat aku menyukai seseorang.
Aku tancap gas motor untuk membeli cincin perak yang pantas ia kenakan nanti. Sebenarnya, aku mampu membelikannya cincin emas dengan berlian, namun aku harus berhemat uang untuk masa depanku nanti. Kupesankan ditulis nama di dalam cincinnya. Aku pulang dengan perasaan senang bukan kepalang. Besok, cincin itu akan kukenakan ke jari manis kanannya.
====================================================================================
Hari ini, bisa jadi hari yang spesial untuk kita. Kukenakan celana jeans biru, jaket jeans biru, dan kaos biru karena aku suka warna biru. Tak lupa kuselipkan cincinnya ke saku jaketku agar tidak lupa. Aku sudah menunggu di depan pintunya. 15 menit kemudian, pintunya mulai terbuka. Betapa terkejutnya aku, Haruka mengenakan hotpants biru dengan tanktop putih ketat. Yang membuatku melongo, di tanktopnya ada gambarku.
"Aku kok bisa di situ, Har?"
"Gapapa, biar kalo aku kangen kamu liat foto di bajuku aja."
"Emang segampang itu kalo kangen?"
"Itu caraku. Ayo dong, Iz!"
"Ayo!"
Dia langsung mengambil helmku di jok motor. setelah siap semua, kami berangkat. Batu tujuan kami. Kota yang dingin -tetapi berangsur panas- memang menawarkan banyak tempat wisata, mulai kebun sampai alun-alun. Yang kami pilih adalah Songgoriti, di sinilah banyak yang menawarkan paralayang dan view Batu dari Songgoriti. Kami memilih paralayang, biar terasa greget.
"Iz, aku takut lho."
"Gak usah takut deh, naiknya sama aku, Har."
Haruka menggenggam kuat tanganku saking takutnya. Begitu sudah terbang, dia malah menangis. Kuyakinkan dia agar tidak takut karena ada aku. Begitu mendarat, aku memeluknya agar dia melupakan pengalaman yang menakutkan tadi.
Aku ajak dia ke sebuah bukit kecil yang sepi. Tepat di bawah pohon, aku ingin mengungkapkan perasaan yang kupendam selama ini. Jantungku mulai berdebar-debar, kuatur dengan menarik nafas perlahan-lahan. Tanganku mulai dingin, kugosok-gosokkan tanganku dan mulai hangat. Mulai mengatur nafas, tidak grogi, dan kubicarakan apa adanya.
"Kota ini kalo diliat dari atas cantik ya, secantik kamu."
"Masa sih?"
"Bener, Har. Coba kamu diem di sini. Kamu kedinginan kan?"
"Iya, Iz."
Aku langsung memeluknya erat-erat.
"Kalo kupeluk, gimana rasanya?"
"Anget, Iz."
"Itu yang aku raasain, Har. Sebelum kamu datang ke kehidupanku, aku merasa kedinginan dan sepi. Sejak kamu ada, semua udah berubah. Aku merasa hangat dan senang sekali. Setiap hari aku memikirkanmu. Senyummu, suaramu, dan semua dari kamu selalu kuingat. Aku gak bakal kehilangan kamu."
"Maksudmu apa, Iz?" Haruka masih belum mengerti. Inilah saat yang aku tunggu.
"Aishiteru, Haruka-san!!!"
Matanya langsung meneteskan air mata. Dia langsung memelukku kembali dan menangis sekeras-kerasnya.
"Makasih, Iz. Kamu yang cowok terakhir yang mau jadi pacarku. Aku bakal terima kamu dengan 1 syarat. Kamu jangan tinggalin aku kalo kamu tau kekuranganku."
"Emang kamu kenapa? Sakit?"
"Enggak, aku, aku...." Air matanya kembali meleleh. Mungkin dia memiliki rahasia yang belum kuketahui. Kukatakan di depan telinga kanannya.
"Suatu saat kamu pasti tau. Jangan salahin aku kalo kita gak bakal punya anak. Rahimku diangkat sewaktu aku di Jepang. Maafin aku bohongin kamu kalo aku ngomong jenguk adikku."
"Aku maafin kamu, kok. Jangan menangis, Haruka. Aku bakal terima apa yang kamu alami dan aku gak bakal meninggalkanmu hanya karena memiliki kekurangan. Aku justru menutupi kekuranganmu. Mulai sekarang, aku milikmu, meskipun sampai tua gak punya anak."
Haruka berhenti menangis dan dia malah mencium pipi kiriku. Kubalas ciuman juga. Kupasangkan cincin ke jari manis kanannya. Dia terharu dan kembali memelukku. Mulai hari ini, 21 Agustus 2018, kami resmi menjadi kekasih sehidup semati.
"Kakaaaaak!" Ayana berteriak setelah kami pulang.
"Sssst. Jangan keras-keras. Ayu nanti kedengeran."
"Gapapa dong biar seru!"
"Udah deh gak usah keras-keras!"
"Hii, nanti aku teriak lho. Ayu, Kak Faiz abis jalan sama Kak...." Kuganjal mulut Ayana dengan tisu yang masih belum kubuka.
"Apaan sih teriak-teriak. Eh ciye, Kakak berduaan!"
Aduh, tahu saja hubungan kami.
"Emang kamu cemburu yaa?"
Muka Ayu tiba-tiba memerah malu karena kata-kataku tadi.
"Udah deh, Iz. gak usah didengerin."
Kami langsung melangkah ke kamar. Dia minta ke kamarku. Begitu kami masuk kamar, dia malah menangis lagi. Kuhapus air matanya dan dia mulai kembali tersenyum.
"Mungkin kamu cowok terakhir yang aku punya."
"Aku harus minta maaf karena kamu bukan yang pertama bagimu, tetapi aku bakal jadi orang yang terbaik buat kamu."
"Aku mau minta sesuatu sama kamu, tapi kamu gak kaget kan kalo aku minta, Iz?"
"Gak masalah, kok. Kamu minta apa?"
"Aku pengen kita jadi...." Air mata Haruka kembali menetes dan dia menyandarkan kepalanya ke pahaku.
"Jadi apa? Kita kan udah jadian."
"Aku pengen kamu nikahin aku, Iz. Aku pengen bahagia sama kamu meski kamu tau kekuranganku."
Aku memang sudah memaklumi dan memaafkan kekurangan Haruka. Aku memang bukan orang yang suka dengan kekurangan. Mau bagaimana lagi, cinta bukan mencari kelebihan, namun melengkapi kekurangan bahkan menghilangkannya.
"Aku mau kalo maumu kita nikah. Tapi kamu jangan bikin aku kecewa."
"Aku gak bakal kecewain kamu, kok."
====================================================================================
2 tahun kemudian, tepat tanggal jadian kami, aku langsung menikahi Haruka. Aku melihat raut wajah yang senang. Tak pernah aku melihat dia bahagia seperti ini. Aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan rasa ini. Meski aku tahu, masa depan kita tanpa anak. Aku tidak akan meninggalkannya.
"Iz, aku gak nyangka kamu lakukan ini untukku."
"Har, kamu pasti senang kamu bisa jadi istriku. Nanti kalo arisan, kamu pasti dipanggil Bu,..."
Dia langsung mencubit hidungku sampai memerah.
"Kamu bisa aja, Iz."
"Kakaaaaaak, selamat menempuh hidup baru ya." Ayana dan Ayu memberi selamat kepada kami.
"Uenak, kon isok rabi arek ayu ngene? (Enak, kamu kok bisa nikah sama cewek cantik gini?)" Bobby memanggilku.
"Hoki !" Candaku.
Peristiwa ini akan kukenang menjadi kenangan terindah untuk kita. Aku sekarang memilikimu sampai selamanya. Terima kasih, Haruka. Kau memilihku menjadi suamimu selamanya hingga maut memisahkan kita berdua.
SELESAI
Kereeeeen
ReplyDelete