Pagi ini sebenarnya
tidaklah berbeda dari biasanya. Aku masih saja duduk di kelas yang sama, teman
sebangku dan papan tulis yang tak berbeda dari yang kemarin. Hanya saja, hari
ini mataku lebih gemar memandangi ke arah sudut kanan kelas, di mana kudapati Kinal
seperti tak bergairah untuk menjalani hari yang aku pikir memang memuakkan.
Beradu dengan Fisika di pagi hari, bukankah itu memuakkan? Padahal biasanya Kinal
tak selayu ini. Dia sangat menyukai pelajaran tak berguna itu. Ya memang dia
sangat jago dalam urusan mencari besar momentum suatu benda. Bahkan mungkin dia
lebih jago dari guru kami sendiri. Tapi entahlah apa yang membuat akhir-akhir
ini begitu menyedihkan untuk teman kecilku itu.
Pelajaran Fisika
memang telah usai beberapa menit yang lalu. Aku yang tak tahan melihat kelakuan
aneh Kinal , langsung menghampiri mejanya.
“Kamu nggak papa
kan, Nal? “, tungkasku sembari mengetuk pundaknya beberapa kali. Dia tak
bergeming, hanya semburat senyum dan sedikit anggukan yang menandakan bahwa dia
baik-baik saja.
“ Kamu yakin?”,
tanyaku sekali lagi, yang kemudian dibalesnya dengan cara yang sama. Hanya saja
dia segera bangkit dari kursinya dan meninggalkan kelas entah kemana. Mungkin
dia butuh sedikit air untuk membasahi wajahnya yang tampak kusut atau mencari
udara segar untuk mengurangi semua penat di pikirannya. Biarkanlah, kalau
memang itu membuatnya lebih baik.
***
Taman sudah
dipenuhi oleh banyak siswa sejak bel istirahat berbunyi. Memang jam istirahat
adalah satu-satunya waktu yang membuat taman ini terasa penuh dan sesak, walau
banyak pohon rindang tumbuh di sekelilingnya. Apalagi wanita yang duduk di
salah satu bangku taman itu, sembari menghisap softdrink miliknya tampak lebih
kekurangan oksigen untuk bernafas hari ini. Siapa lagi kalau bukan Kinal, bunga
layu hari ini. Aku menghampirinya sembari membawa beberapa makanan yang baru
saja aku beli dari kantin.
“ Nggak enak kale,
nongkrong tanpa cemilan. “, aku datang menyodorkan snack milikku, lalu duduk
merapat di samping Kinal yang kebetulan memang masih renggang untuk tubuhku
yang tak terlalu besar.
“ Nggak usah. Aku udah
beli sendiri kok, Ji. “, katanya sembari menunjuk beberapa snack yang
tergeletak di sampingnya.
Aku hanya
mengangguk secukupnya sembari melihat sekilas senyum yang sempat dia lemparkan
untukku.
“ Kamu kelihatan nggak
sehat hari ini, Nal. Softdrink nggak bagus lho buat orang yang lagi sakit.”,
kataku tepat saat dia menenggak softdrink miliknya.
“ Siapa yang sakit?
Nggak kok. .”, dia meletakkan botol minumannya di atas meja taman.
“ Tapi kek lesu
banget deh kamu. Ada apa sih? “, tanyaku. Aku mulai membuka bungkus cemilan.
“ Sejak kapan kamu
merhatiin aku? ”, cibirnya sembari
menoleh ke arahku.
“ Aku serius, nal! ”,
dia hanya tertawa kecil.
“ Nggak ada apa-apa kok. Kamu nggak usah
khawatir. “
Jelaslah aku
khawatir dengan teman masa kecilku ini. Dia sudah menjadi seseorang yang
berarti dalam hidupku. Semasa kecil selalu bermain bersama, bersepeda bersama, dan
berangkat sekolah bersama. Ya walaupun SMA ini kami tak pernah lagi melakukan itu
semua, tapi aku masih punya hasrat untuk peduli padanya. Apa itu salah?
Dia sedikit
menghela nafas sejenak. Lalu menghirup sebanyak-banyak udara di sekelilingnya
dan kemudian menghempaskannya kembali.
“ Baiklah. Memang
sudah saatnya kamu tahu, Ji.”, katanya sembari membidik mataku dalam. Begitu
juga dengan aku yang sudah membenarkan posisi dudukku dan memasang telingaku
dengan benar.
“ Minggu depan aku akan
pergi ke Jakarta. “, ucapnya singkat yang menurutku tak berarti apa-apa. Aku
masih bingung dengan apa yang tengah dia maksud. Masih cukup ragu sepertinya.
“…dan aku akan
menetap di sana. “, tambahnya memperjelas. Membuat aliran darahku melambat
untuk sementara waktu.
“ Beberapa bulan
lalu, saat liburan semester, aku datang ke Jakarta untuk ikut audisi JKT48. Kamu
tahu kan kalau aku pengen banget jadi penyanyi terkenal? “, aku hanya
manggut-manggut sembari sedikit melemparkan senyum.
“…kemarin pihak
JKT48 menguhubungiku lewat telepon dan bilang kalau aku lolos jadi member
JKT48.”
“..Jadi Sabtu besuk
itu hari terakhirku di sekolah ini.”, katanya berhasil membuat dadaku terasa
sesak dan sulit sekali untuk bernafas, Namun cepat-cepat aku memasang wajah
biasa dan tak begitu menyedihkan untuk menggambarkan bahwa aku sungguh baik-baik
saja.
“ Harusnya kamu tuh
seneng. ”
“ Harusnya sih gitu,
Ji. Tapi rasanya sulit banget ninggalin kota ini.. “, katanya lemah
“ Impianmu lebih penting,
Nal. Lagian kamu juga bisa harumin kota ini nantinya. “, kataku memberikan
seberkas semangat untuknya.
“ Terus, kamu
gimana?“
“ Aku? Kenapa kamu khawatiriin
aku? Jelas aku akan baik-baik saja di sini. “, kataku sembari tertawa kecil
palsu yang sebenarnya memang aku akan selalu buruk jika harus menjalani hidup
tanpanya. Apalagi jika harus menjalani kehidupan sekolah yang cukup membosankan.
Mungkin akan lebih bosan lagi jika tanpa dia di kelas nanti.
“ Tenang, Nal. Aku
akan mendukungmu di sini. ”, tambahku sembari kemudian mengambil beberapa keping
keripik dari bungkusan yang aku pegang tadi, lalu mengunyahnya sampai hancur
sehancur hatiku sekarang. Sebenarnya aku
belum siap berpisah denganmu, Nal. Apa kau tak mendengar isi hatiku sekarang?
Kenapa mendadak sekali sih.
***
Hari ini adalah
hari Sabtu. Kau tahu? Hari yang paling tidak aku tunggu di pekan ini. Rasanya
ingin sekali mencari seseorang yang bisa membuat waktu ini berputar kembali ke
masa lalu, di mana aku masih bisa membuat Kinal untuk membenci nyanyian. Agar
dia tak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang penyanyi nantinya. Tapi mana
mungkin waktu bisa dengan mudahnya berputar balik begitu saja. Ini bukan kartun
Doraemon, ini adalah dunia nyata yang nyatanya memang hari ini adalah hari
terakhir Kinal bersekolah denganku. Sebelum pada akhirnya dia akan menetap di
Jakarta dan sibuk dengan dunia barunya. Dunia peridolan.
Setibanya di kelas,
aku merasa kelas lebih gaduh dari biasanya. Terutama kaum siswi yang mungkin
juga berat untuk merelakan kepergian Kinal esok. Tampak dari beberapa mata
mereka yang basah karena haru dan beberapa di antara mereka yang menyumbangkan pelukan
hangat untuk Kinal. Pelukan hangat yang sebenarnya juga ingin aku berikan untuknya.
Tapi bukanlah suatu hal yang etis jika laki-laki sepertiku memeluknya hanya
karena masalah kecil seperti ini. Dia hanya pergi ke Jakarta, bukan ke luar
negeri. Jadi hal itu tidak terlalu buruk untukku. Walau sebenarnya yang paling
buruk adalah menjalani hari tanpanya. Ah biasa aja sih, bukankah semenjak awal SMA
kami memang sudah tak seakrab dulu ?
Sepulang sekolah,
aku bergegas menghampiri sepeda kayuhku di halaman parkir. Menjelajahi jalan pulangku dengan sepeda
memang sudah menjadi pilihanku sejak SD. Walaupun sebenarnya memang aku tak
begitu suka dengan terik matahari yang biasa menyinari kulitku yang kering. Tapi
tak apalah, lagi pula rumahku dengan sekolah hanya berjarak tiga kilometer. Jadi
menurutku lebih baik berkeringat dibanding harus menghambiskan uang sakuku yang
tak begitu banyak.
Kuraih sepedaku dan
kukayuh pelan hingga sampai kemudian aku menemukan Kinal tengah sendiri di pos
satpam sekolah. Dia terlihat tengah memainkan ponselnya sembari menanti
jemputan yang biasa dia dapat. Tapi tak biasanya aku menemukannya seperti ini.
Biasanya dia sudah menghilang saat aku melewati gerbang.
“ Butuh bantuan? Kakakmu
telat jemput ya?. “
“ Iya nih. Aku
tunggu daritadi nggak datang juga. Tapi aku bisa pulang sendiri kok. ”, katanya
menolak tawaranku. Sedikit mengecewakan memang, tapi aku bukanlah laki-laki
yang begitu saja menyerah untuk mengajaknya pulang bersama. Apalagi rumahnya dengan
rumahku hanya bersebelahan, jadi tak ada salahnya jika aku mengajaknya lagi
bersepeda bersama seperti waktu SD dan SMP dulu.
“ Ayolah, Nal.
Masa’ kamu gak kangen sih sama empuknya sepedaku ini?. “, aku menggelengkan
kepala ke arah tempat boncengan yang sengaja aku biarkan terpasang sejak dulu.
Karena aku yakin, suatu saat nanti Kinal akan membutuhkan lagi boncengan ini,
dan sekarang aku sedang berusaha mewujudkan keyakinanku itu.
Seperdetik
kemudian, dia tampak tengah berpikir untuk menerima tawaranku, atau malah memilih
membiarkanku berlalu tanpanya. Semoga saja dia menerima tawaranku. Kau kangen kan
dengan kenangan kita dulu?
“ Okedeh. “.
Bagus!!! Apa aku
bilang, pasti dia kangen denganku, eh.. maksudku kangen dengan sepedaku –mungkin-.
Tapi apalah itu, yang penting sekarang aku bisa bersepeda lagi dengannya. Lalu
dia mendekat dan duduk di boncengan sepedaku yang kuharap masih kuat membopong
tubuhnya.
“ Siap? “, tanyaku
padanya yang hanya ditanggapinya dengan ehem keras. Dengan senang hati dan menarik
senyum, ku kayuh sepedaku untuk memulai jalan pulang yang menyenangkan ini.
Don’t
Stop, jangan hentikan.. ~
My
Love, selama-lamanya..~
Tolong,
biarkan ku lewat seperti ini ~
Go
to, kemana-mana.. ~
Heaven,
bila dengamu… ~
Ku
ingin terus bergini, cause I’m loving you…~
***
Di saat perjalanan,
aku memang sengaja tak langsung mengantarnya ke rumah, melainkan ke sebuah
tempat yang aku pikir Kinal akan menyukainya. Tempat di mana nanti akan ada banyak
pepohonan yang rindang untuk tempat kami berteduh. Bahkan jika kau lelah, kau
bisa berbaring di atas rerumputan yang halus dan tertidur di bawah pohon besar
ditemani hembusan angin sepoi-sepoi.
“ Kamu gak bilang
mau bawa aku ke sini. “, katanya setelah aku menghentikan laju sepedaku.
“ Tapi kamu suka
kan?”
“ Iya. Sudah lama
gak pernah ke sini. Sejak….”
“ Sejak kita SMA…”,
kataku menyela perkataannya yang disambut dengan tarikan senyumnya.
Lalu aku
mengikutinya dari arah belakang. Dia tampak sangat rindu dengan tempat yang
bertahun-tahun menjadi tempat favorit kami berdua dulu. Kemudian kami duduk di atas
rerumputan hijau tepat di bawah pohon beringin yang besar. Ditambah dengan pemandangan
air danau yang masih saja menyejukan mata. Aku tak tahu mengapa air danau ini
masih saja jernih seperti dulu. Masih saja indah seperti saat aku dan Kinal
bermain-main di tempat ini. Tak pernah sedikit pun berubah, yang berubah hanyalah
hubunganku dan Kinal yang tak lagi seakrab dulu. Semenjak menempati bangku SMA,
dia memang lebih sibuk dengan teman-teman barunya, dan seperti melupakan
kenangan yang pernah kami ukir dulu di tempat ini.
Wait! Seperdetik
kemudian aku ingat dengan ukiran sederhana yang pernah aku buat di pohon
beringin ini. Ya, aku dan Kinal pernah menuliskan nama kami berdua di pohon besar
belakangku itu dengan sebilah pisau. “
Aji & Kinal “ entahlah masih membekas atau tidak di pohon ini. Bergegas
ku bangkit menyusuri tubuh pohon.
“ Nal, masih inget
ukiran kita dulu nggak? ”, dia melemparkan pandangannya ke arahku dan mencoba
untuk mengingat apa yang aku tanyakan.
“ Eh iya, masih ada
gak? “, dia ikut bangkit dan membantuku mencari ukiran lama tersebut.
“ Nah…ini dia “,
tak butuh waktu lama, akhirnya aku berhasil menemukan ukiran bersejarah itu.
Ukiran yang menurutku sangat mengesankan dan memoriable banget. Bahkan sampai lupa kalau aku pernah membuatnya
di sini. Tapi entahlah, Kinal sepertinya hanya menganggap ini ukiran biasa.
Ukiran yang hanya iseng kami buat dulu. Ya memang kami iseng pada waktu itu.
Tapi ukiran tersebut sangat berharga untukku. Tapi setidaknya dia telah
membantuku untuk mencarinya lagi.
“ Tapi udah agak
kabur sih tulisannya.”, aku mengusap-usap ukiran tersebut secukupnya, dan
berharap agar tulisannya terlihat lebih jelas. Namun nihil, ukiran tersebut
benar-benar sudah setengah dimakan jaman. Mungkin lain waktu, aku akan datang
ke sini lagi untuk mempertegas ukirannya.
Seperdetik kemudian
aku sudah duduk bersila di samping Kinal. Sembari melemparkan pandangan
dalam-dalam ke arah danau yang memanjakan. Mungkin ini akan jadi pengalaman
pertama dan terakhirku bersama Kinal di tempat ini semenjak berseragam putih abu-abu.
Sesaat aku mengutuk
diriku sendiri, kenapa baru sekarang aku mengajaknya ke sini. Seharusnya selama
ini aku memaksanya pulang sekolah bersama, lalu berhenti di danau ini setiap
hari. Jadi tidak hanya satu ukiran saja yang akan kami buat nanti, tapi lebih
banyak dan indah. Ah penyesalan sering datang di ujung pertemuan.
“ Besuk kamu
berangkat jam berapa? “ tanyaku sembari merenggangkan kedua tanganku, melepas
lelah.
“ Sekitaran jam
sepuluh. “
“ Kayaknya aku
bakalan kangen tempat ini deh.”, tambahnya sembari menoleh ke arahku.
“ Bakalan kangen
sama aku juga nggak?”, dia mengangguk secukupnya membuat ujung bibirku tertarik
berlawanan.
“ Ji, kamu tutup
matamu dulu deh. Aku punya kejutan. “
“ Kejutan? “,
tanyaku kebingungan yang ditanggapinya dengan tatapan tajam.
“ Iya deh Iya “, segera
ku menutup mata dan menarik kelopaknya hingga membuat pandanganku terlihat
gelap total. Aku tak tahu kejutan apa yang akan dia kasih untukku, tapi jika
dengan menutup mata sudah membuat dia bahagia, aku rela berlama-lama dengan
keadaan gelap seperti ini. Asal Kinal tersenyum, apasih yang tidak?
Sekitaran dua menit
sudah Kinal memaksaku seperti ini, dia masih saja melarangku untuk membuka
mata. Padahal aku sudah sangat penasaran dengan kejutan yang dia janjikan.
Mungkin sebentar lagi.
“ WOY. Buka!! “,
suara keras menggelora dari jauh. Seperdetik kemudian mataku terbuka dan mendapatinya
telah berada di sepeda. Aku kebingungan.
“ Kejutannya mana?
“, tanyaku padanya. Dia hanya menjulurkan lidahnya dan terus mengayun pelan seperti
akan membawa kabur sepedaku. Segera ku beranjak dari tempatku dan meninggalkan
danau yang indah ini.
Ah, sial ! Ternyata
bukan kejutan, tapi dikerjain habis-habisan. Padahal aku sudah berharap lebih. Apa
dia tak sadar bahwa sebenarnya dia telah mengecewakanku?
Ah
mungkin bagi diriku..~
Dirimu
yang berarti…tidak menyadari apapun...~
Cinta
tak terbalas dari belakang…~
***
Suara kicauan
burung bergemuruh di luar rumah. Terdengar samar-samar memang, tapi sudah cukup
menandakan bahwa hari sudah pagi sejak tadi. Apalagi sinar matahari yang menembus
jendela kamarku teramat menyilaukan mata, memaksaku untuk menyudahi tidurku
semalam yang terasa lebih singkat dari biasanya.
Sebenarnya semalam
aku sulit tidur. Masih saja memikirkan kepergian Kinal pagi ini. Setidaknya aku
akan memberikannya sesuatu apa gitu, agar dia mengingatku di Jakarta nanti. Tapi
apa? Aku masih belum menemukan ide yang bagus.
Pukul Sembilan
empatpuluh lima, aku sudah tiba di rumah Kinal dengan kaus polo abu-abu dan
celana pendek selutut. Beberapa koper juga sudah masuk ke dalam bagasi.
Rencananya Kinal akan diantar ayahnya menggunakan mobil pribadinya. Jelas,
ayahnya tak mungkin membiarkan gadis remajanya pergi sendirian ke Jakarta. Apalagi
Kinal masih gadis polos yang belum tahu betul seluk beluk dari kota ‘kejam’
itu.
“ Ji, aku pamit
dulu ya. Jaga dirimu baik-baik. “ aku mengendus nafas berat mendengar
ucapannya. Kalimat pertama mengawali perpisahan.
“ Kamu juga, Nal. Aku
pasti bakal kangen sama kamu. “, kataku dengan senyum sembari menepuk pundaknya
secukupnya. Dia hanya tersenyum, walau tampak getir.
Aku tak pernah menyangka,
perpisahan kami akan tiba sedini ini. Padahal sebelumnya aku berharap kami akan
selalu bersama nantinya. Tapi nyatanya, impiannya telah mematahkan harapanku. Dia
akan pindah sekolah di sana, dan besar kemungkinan akan melanjutkan sekolah di
Jakarta juga. Aku tak bisa membayangkan jika harus merayakan kelulusan tanpa
dirinya nanti.
“ Kalau kamu kangen
aku. Datang aja ke danau kemarin. Bukankah dulu kita menghabiskan waktu di sana
? “, katanya membuatku terharu. Ternyata dia masih ingat dengan
kenangan-kenangan kecil itu.
“ Kamu jangan
lupain aku ya! “, dia mengangguk dan kemudian masuk ke dalam mobil. Sampai pada
akhirnya mobil itu melaju dan perlahan membawa Kinal hilang dari pandanganku.
Berakhir sudah
pertemuan singkatku pagi ini, yang aku sendiri juga tidak tahu kapan lagi bisa
bertemu dengannya. Padahal seharusnya waktu yang singkat itu aku manfaatkan
untuk mengungkapkan perasaanku selama ini. Perasaan yang mengatakan bahwa aku
sangat menyanyagi Kinal. Tapi nyatanya, memang waktu belum pernah tepat
untukku, atau mungkin tidak akan pernah tepat. Ah entahlah, aku tak tahu apa
yang akan terjadi nantinya. Lagipula aku dan Kinal masih kelas 3 SMA. Masih
terlalu dini untuk membahas persoalan cinta. Kita masih punya impian
masing-masing yang harus dikejar. Seperti Kinal yang sekarang tengah berusaha
untuk meraih impiannya sebagai seorang idola. Mungkin lain pertemuan, aku akan
mengatakan perasaanku, nal. Aku janji.
****
Langit yang awalnya
biru bersih, perlahan mulai menjingga. Awan-awan putih perlahan menguning, seperti
membiarkan sipit matahari mencemari tubuhnya. Ya, mereka serempak tengah mengantarkan
sang surya tenggelam di ufuk barat. Alangkah sahabatnya mereka semua. Setiap
sore selalu bersama.
Senja begitulah
namanya. Tiap kali aku melihatnya, aku berpikir apakah ini kekuasaan yang Tuhan
berikan untuk manusia? Jika iya, kenapa hanya sementara? Padahal semburat sinar
samarnya mampu menenangkan hatiku. Apalagi saat merindu seperti ini.
Andai saja Kinal di
danau ini sekarang, melihat senja berdua, mungkin akan lebih indah jadinya. Kinal,
Apakah kau melihat mentari senja? Di
balik jendela mobil yang tengah mengantarkanmu sekarang. Ah, mungkin kau sedang
tertidur di belakang ayahmu. Kau kan suka tidur.
Tadi pagi kau
bilang, jika aku merindukanmu, kau memintaku untuk datang ke danau ini. Kau ini
bercanda ya? Itu sama saja kau memintaku untuk hidup selamanya di tempat ini. Tidur
di atas rerumputan sembari merindukanmu setiap hari. Kau ingin aku jadi manusia
danau sampai kau pulang nanti? Kau meminta atau menyiksa. Aku tersenyum tipis.
Seperdetik
kemudian, terbesit di benakku akan ketakutan yang mungkin saja bisa terjadi.
Aku takut kau akan melupakan aku nantinya. Setelah kau mendapatkan semua yang
kau impikan, kau hanyut ke dalam kebahagian. Seperti membuat bayanganku semakin
samar dari pandangamu. Lalu perlahan hilang tak bersisa. Seperti ukiran pohon yang
samar dimakan usia.
Ah iya, aku jadi
ingat ukiran pohon itu. Kenapa tadi aku tak kepikiran untuk bawa pisau?
Segera ku bangkit
dan menghampiri pohon. Kuusap ukiran dan tunggu.. kenapa ukirannya berubah?
Siapa yang mengubahnya. Tidak mungkin “ Aji
& Kinal “ berubah menjadi “ Aji
Loves Kinal “ dengan sendirinya.
Tak lama kemudian,
aku menarik bibirku. Ini pasti Kinal yang melakukannya. Jadi ini yang dia
maksud kejutan? Kemudian aku tertawa. Lebih tepatnya tertawa bahagia. Aku tak
menyangka Kinal akan memberikan kejutan semenarik ini. Bahkan lebih menarik dibanding
senja di sore hari ini.
Kinal, mungkin di
sini aku kehilanganmu. Tapi aku tahu, kau pergi untuk mengejar impianmu di
sana. Jadi aku rasa dengan melihat ukiran ini, kau seperti ada di sampingku
sekarang. Walau kenyataanya memang kau tak ada di danau ini. Tapi yang jelas,
aku akan mendukungmu dari sini. Karena apa? Karena CINTAKU BERBENTUK DUKUNGAN
UNTUKMU !
Semoga kau meraih
mimpimu di JKT48.
Apakah
kau melihat langit mentari senja?..~
Mengajar
untuk menerima keadaan saat ini dan terus maju..~
Dan
bila kehilangan sesuatu..~
Pastilah
suatu saat nanti hal itu akan tercapai … ~
TAMAT
Author :
@ajiraenaldi
sukses ya jik hahhahaha tiruni aku sesok neh
ReplyDelete